Kontak Media

SISU News Center, Office of Communications and Public Affairs

Tel : +86 (21) 3537 2378

Email : news@shisu.edu.cn

Address :550 Dalian Road (W), Shanghai 200083, China

Membaca Terkait

Apa hubungan antara kesenian wayang Indonesia dan Tionghoa?


13 August 2020 | By idadmin | SISU

 

Di belakang kain layar putih yang besar, setiap boneka halus yang kecil membentang kaki tangannya dengan ditarik tali serat. Telinga kita diisi dengan musik drama yang merdu, di panggung mereka pergi ke sana kemari membentuk berbagai adegan gambaran yang tidak menentu serta indah sekali. Bayangan di layar tertumpuk menjadi cerita rakyat yang sudah amat lama, itulah pertunjukan bayangan boneka. Setiap negara memiliki seni bayangan boneka sendiri yang unik, Indonesia pun tidak terkecuali.

Seni bayangan boneka tradisional Indonesia yang unik dikenal juga sebagai “Wayang”. Mengenai asalnya, ada yang berkata wayang berasal dari India karena sebagian besar sandiwara wayang diambil dari epik mitos India “Mahabharata” dan “Ramayana”; ada yang berkata wayang dipengaruhi oleh penduduk Tionghoa untuk mengusir setan atau hantu, mengalahkan raksasa dan membela keadilan dengannya, karena sejak Dinasti Song Utara mereka disebarkan ke pulau Jawa melalui Semenanjung Melaka; ada juga yang berkata bahwa wayang bersumber pada kerajaan Yogyakarta asli Indonesia, perlahan-lahan menyebar ke seluruh Indonesia dan pada zaman agama Syiwa di Jawa mulai menjadi populer.

Sebagai pertunjukan bayangan boneka tradisional di Indonesia, wayang sudah tercatat dalam tulisan pada abad ke-11, dan dibentuk menjadi semakin sempurna sejak abad ke-15, bersebar sampai hari ini di daerah Jawa dan Bali. “Selembar kulit sapi menyatakan segala perasaan, setengah wajah meliputi yang baik dan yang buruk” adalah rumusan terbaik tentang tokohnya. Wayang kulit terbuat dari kulit sapi, rupa tokohnya seperti berhidung tajam, berleher panjang dengan banyak perhiasan serta berbahu lebar, berpinggang ramping dan berlengan panjang. Warna putih mewakili yang baik sedangkan warna hitam mewakili yang serakah. Yang merah menunjukkan rasa marah dan yang kuning menyatakan rasa iri hati. Di samping itu, wayang dipengaruhi oleh agama sehingga menimbulkan fungsi untuk memunahkan yang jahat dan memuja dewa, itulah salah satu cara komunikasi orang Indonesia dengan dewa. Dalang menghubungkan surga, bumi dan neraka yang merupakan tumpuan perasaan dan permintaan orang Indonesia terhadap agama dan masyarakat.

Akibat luasnya wilayah Indonesia, pertunjukan wayang di berbagai tempat telah berkembang dengan berbeda. Sejak Dinasti Song, manusia Tionghoa melayang ke Asia Tenggara dan berakar pada Semenanjung Malaya, maka terlahir wayang yang dicampur dengan budaya Indonesia dan cerita wayang Tionghoa dan selanjutnya dikembangkan berangsur-angsur sempurna. Pada pengawalan abad ke20, pendiri wayang Tionghoa Jawa, Jiang Duanxin, dilahirkan di Kraden, Jawa Tengah. Bimbingan budaya Tionghoa kakeknya, Jiang Yinjue, dan pengaruh artistiknya di dua istana Solo dan Yogyakarta menyediakan kesempatan untuk penciptaan wayang Tionghoa Jawa di masa depan. Wayang Tionghoa Jawa bukan saja didasarkan pada pertunjukan wayang asli Indonesia, tetapi juga menyerap inti cerita dan bentuk boneka dari bayangan boneka Tionghoa.

Di antara wayang Tionghoa Jawa, yang paling terkenal adalah dua karya yang diciptakan oleh Jiang Duanxin: "Penaklukan Xue Rengui Mengarah ke Timur" dan "Penaklukan Xue Rengui Mengarah ke Barat". Boneka dalam "Penaklukan Xue Rengui mengarah ke Timur" diubahkan dari pertunjukan bayangan boneka Tionghoa dan dibuat sebelumnya, maka sebagian boneka tampaknya kecil dan halus. Sementara itu, boneka dalam "Penaklukan Xue Rengui mengarah ke Barat" dibuat dengan kartus keras karena kurangnya kulit sapi. Dengan demikian, boneka dalam pertunjukan tersebut menyerap ciri dalam wayang Indonesia asli dan bisa dimainkan lebih lentur. Selain itu, dalam pihak musik yang terkait dalam pertunjukan itu, gamelan, semacam instrumen tradisional Indonesia, digunakan untuk menciptakan suasana yang sesuai dengan panggalan cerita pertunjukan. Boneka wayang yang unik tersebut tentu saja menjadi pisang goreng dalam masyarakyat setempat.

Namun, perkembangan pertunjukan wayang Tionghoa Jawa juga mengalami kesusahan. Selama Perang Dunia II, pertunjukan wayang Tionghoa Jawa paksa dilarang oleh pemerintah kolonial. Pada tahun 1960-an, kebijakan "Orde Baru" menahan perkembangan pertunjukan kesenian ras-ras lain. Namun, penduduk setempat di Indonesia yang menyukai wayang Tionghoa mengambil jalan baru dengan cerdik dan mengubahkannya jadi drama panggung cerita rakyat Jawa "Kedoprak". Wayang versi ini menggabungkan kisah Xue Rengui dengan adat istiadat Indonesia. Delang asli memberinamakan tokoh utama pria "Sutilok" untuk mengembangkan wayang Tionghoa Indonesia yang baru dan membantu delang Tionghoa bersama menjaga wayang unik semacam itu.

Sekarang ini, pemerintah Indonesia juga mengembangkan wayang secara aktif untuk meneruskan intisari dan warisan wayang Indonesia yang luar biasa ini. Pada tahun 2011, Susilo ikut mempersembahkan Jiang Duanxin "Medali Pahlawan Budaya", penghargaan tertinggi di sidang kesenian, sebagai pujian atas sumbangannya terhadap pengembangan wayang Indonesia. Ada juga semakin banyak delang yang mengabdikan diri pada inovasi dan pemulihan wayang Tionghoa Indonesia untuk menjaga budaya yang bersama diciptakan dan dimiliki oleh masyarakyat Tionghoa dan masyarakyat Indoneisa.

Selama perjalanan ChengHo ke Asia Tenggara, dilihatnya pertunjukan wayang ketika ia melewati pulau Jawa. Dalam “Gambaran Sempurna terhadap Yingzhou” dicatat, ”Ada sekelompok delang asli yang melukis berbagai binatang di atas kertas seperti sosok burung, binatang buas dan elang dan serangga, tampaknya hampir hidup dalam penampilan. Dua tiang gambar yang berbahankan kayu itu semeter tingginya dan ujungnya hampir sampai kepala seorang pria dewasa. Delang itu duduk berkaki silang dan mendirikan tiang gambar di tanah. Setiap bagian gambar dipamerkan, ia menjelaskan asal usul cerita bagian ini. Para penonton duduk dan mendengar penjelasannya, tertawa atau menangis. Itu hanya seperti kata-kata biasa. "Tahun ini menandai tahun peringatan ulang tahun ke-70 sejak dijalinnya hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Indonesia. Jalur Sutera Maritim telah berlayar lagi mengikuti gulungan sejarah, maka semoga hubungan Tiongkok-Indonesia akan menahan hubungan bersahabat bagaikan pertunjukan wayang, bersinar dengan cahaya baru.

 

 

Penulis: Wang Qiyu(Siswa Kelas-4 Jurusan Bahasa Indonesia)

Guru Pembimbing: Yu Qian

Berbagi:

Kontak Media

SISU News Center, Office of Communications and Public Affairs

Tel : +86 (21) 3537 2378

Email : news@shisu.edu.cn

Address :550 Dalian Road (W), Shanghai 200083, China

Membaca Terkait